Tentang Sebuah Pengembaraan 'batin' dari anak manusia. Tentang suka, duka, cerita dan mendengar.
Senin, 20 April 2009
Kartini yang menjadi Kartono
Pagi ini 21 April, satu hari yang sakral bagi kaum wanita indonesia. Katanya.
Hari dimana pada saat itu seorang wanita mulai berani mencurahkan kata hatinya. Akan keinginan untuk melihat dunia.
Tapi ada suatu pertanyaan mendasar. Mengapa kartini ???.
Yang dengan gelar raden ajengnya sudah jelas menggambarkan sosok Priyayi bangsawan. Yang pasti dengan kekayaan dan kekuasaan orangtuanya ia dapat memperoleh sesuatu yang diinginkanya. Termasuk pendidikan.
Mengapa tidak dia, Ken Dedes misalnya. Tokoh wanita yang dengan segala daya upaya menunjukkan pada dunia bahwa wanita mampu. Atau Ratu Tungga dewi, seorang wanita yang mampu memimpin Kerajaan adidaya Indonesia saat itu, Majapahit. Walaupun memang keduanya dari kalangan istana, namun perjuangannya lebih keras dari seorang kartini.
Ataukah, pemberi gelar Pahlawan Pejuang Emansipasi wanita saat itu tak berusaha merunut sejarah. Atau bila yang ditampilkan sosok pemberontak tradisi ditakutkan akan mengilhami kaum wanita untuk merebut dominasi kekuasaan pria. Entahlah.
Kartini atau siapapun hanya symbol. Yang menjadi masalah sekarang, sudahkah hak wanita itu telah diterima sepenuhnya. Sudahkah Perhatian dan perlakuan kita secara individu, masyarakat dan Kenegaraan telah layak untuk mereka ?.
Yang jelas kini memang ada satu kemajuan dalam kebijakan terhadap ke-wanitaan di indonesia ( jangan dibaca lain lho ). Dengan quota parlemen yang ditingkatkan, walau tetap dijegal dengan segala cara agar tak mulus melenggang. Atau PNS yang tak boleh beristri dua, walau selir dan simpanan boleh dimana-mana.
Ohhh..., Miris melihat berita, tentang kartini yang yang luwes melacur dipinggiran jalan. Trenyuh melihat nyata, seorang kartini dengan bocah kecilnya menyulurkan tangan untuk sekeping receh. Marah rasanya melihat seorang kartini memanggul batu di pundak dengan tubuh ringkihnya.
Menangis batin melihat seorang kartini yang luwes seronok melenggang dipanggung menjual dirinya.
Apakah ini Emansipasi.
Apakah ini kesetaraan.
Apakah ini Kesamaan kesempatan.
Ingat,
Ia mungkin Ibumu,
mungkin anakmu,
atau mungkin Istrimu.
Jangan biarkan kartini menjelma menjadi kartono.
Doa kami untukmu, marsinah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kira kira siapa tokoh wanita mirip ibu kita kartini yaa
BalasHapusDalam setiap diri wanita ada sosok Kartini, setidaknya semangat dan mimpinya.Tapi kalo saya sih memilih menjadi sosok ajeng saja, dg semangat saya sendiri,dg mimpi saya sendiri..Hehehe..
BalasHapuswanita indonesia indonesia sekarang seharusnya bersyukur karena sudah ada yang pernah menjadi presiden, menteri, dokter, profesor
BalasHapussatu tulisan yg sangat kritis
BalasHapus