Kamis, 23 April 2009

Kangen 2



Hari Menjelang maghrib, biasanya waktu itu mbahku mulai mengeluarkan beberapa Lampu Templok. Terbuat dari bejana kaca yang diatasnya ada Corong kaca tipis yang melindungi sumbu api dari tiupan angin. Minyak tanah ia tuangkan, lalu sumbu ia sulut dengan api dari Korek api Pocel.

Kadang aku suka membantu, dan sering kami justru di marahi karena terlalu besar menyalakan sumbu hingga pas bangun tidur kami sekeluarga persis Jojon. Pelawak yang kumisnya persis di Lubang hidung. Ya. Karena bila terlalu besar jelanga dari lampu itu banyak berterbangan dan sebagian terhirup oleh kami, hingga lubang hidung kami hitam.

Maghrib kami saling beriringan dengan obor ditangan menuju surau untuk sholat maghrib dilanjutkan mengaji. Hujan tiba-tiba turun agak deras, kamipun berlarian agar cepat sampai. Dan di sana telah berkumpul dua puluhan teman sebaya. Tak sempat bercanda seperti biasanya, karena Iqomah telah diserukan.

Hujan mengiringi sholat kami, bahkan hingga Isya. Baru setelah usai mengaji ia mereda. Dan saat seperti inilah saat bagi kami untuk berburu dimulai. Berburu apa ? Laron....., wuiiiihhhhhh. Ya Laron. Serangga yang hidup dalam tanah, dan muncul bila usai hujan. Jumlahnya ribuan, hingga kadang kami susah berjalan karena pandangan kami dipenuhi oleh mereka.

Tubuhnya putih kekuningan, dengan kepala kecil hitam, sayap beningnya tak pernah henti terkepak. beterbangan sana kemari dalam remang mencari cahaya. Tahu nggak Laron ini rasanya... hmmmmmmmmmm, maknyusssss. Maka tanpa menunggu waktu lebih lama kami bergegas pulang.

Baskom besar berisi air telah siap, kami letakkan di depan rumah dekat dengantempat lubang dimana laron-laron itu bermunculan tiada henti. Di tengah baskom kami letakkan Lampu templok. Maka laron-laron itupun berebut kearah lampu itu. Mereka tanpa sadar menabrakkan diri ke Corong lampu itu, dan akhirnya jatuh ke air.

Beramai-ramai kami membersihkan sayap laron dengan menyianginya ( mencabutinya ). Lalu dengan bumbu yang sudah mbah siapkan, Srennnngggg.......... jadilah Laron Goreng yang gurih sedap. Dengan nasi sisa tadi sore, Wadang. Kamipun santap malam. Bukan di ruang makan. Tapi duduk jongkok didepan Pawon, menghangatkan badan.

Aduhhhh. Tersadar aku, Komputerku yang agak nyetruum tersenggol ujung Dengkulku. Lamunanku akan masa lalu buyar. Berganti dengan aroma Sayur lodeh yang sedang dimasak mbak Tus di dapur warung istriku.

Ahhh,... entah mengapa ada yang hilang rasanya. Aku kangen aroma wangi tanah yang terpercik gerimis. Aku kangen gemericik air, yang berkecipak oleh gerakan ikan gabus. Rimbun hijau rumpun ganyong, yang sesekali berbunga merah, kuning putih. Semuanya Punah. Hilang.
Kalupun ada tumbuhan yang ada kini tanaman gelombang cinta. Tanah yang dulu coklat bersih berganti batako tertata rapi. Dan Blumbang dimana kami mancing kini hitam warnanya.

Dimana kini laron-laron yang bagai pasukan perang menderu. Dimana kini ikan sepat yang putih bertotol hitam dengan rumbai sungutnya.
Ahhhhh, satu demi satu mereka pergi.
Ataukah Bumi kian tua. Hingga tak kuasa memberi mereka naungan.
Ataukah Aku yang terlalu serakah, hingga semutpun ku gapai tuk jadi camilan.
................................................................tak ada jawaban.

4 komentar:

  1. Walah mas,masak laron dimakan? Ditempatku ada sih yg dibuat peyek,cuma seumur-umur aku belum pernah makan..

    BalasHapus
  2. sering denger sih laron dijadikan peyek; tp sampai sekarang blm pernah makan jee..
    kalau gangsir gimana mas?..suka jg gak??..

    BalasHapus
  3. Wooow,... enak lho. Mbah bilang Nglamir. Gangsir pernah juga. Rata-rata anak kampung pasti pernah. Justru ada sensasi tersendiri. Dan herannya Perut kayaknya kebal. Minum air sawahpun jadi.

    BalasHapus
  4. laron sih boleh aja dimakan, tp jangan semut dooong!

    BalasHapus

Bila ingin Mendampratku Silahkan,....