Tentang Sebuah Pengembaraan 'batin' dari anak manusia. Tentang suka, duka, cerita dan mendengar.
Kamis, 16 April 2009
Belajar Bohong.
Sering terjadi pertarungan sengit di batin ini. Terlebih saat-saat seperti sekarang ini. Untuk berkata Jujur tapi hancur, atau berbohong selamat tapi hati tersiksa.
Aku adalah seorang yang lahir, besar dan hidup di Lingkungan sederhana. Dengan Sejuta kasih sayang yang tiada henti tercurah dari Orangtua. Walau memang terpisah jauh, Pekalongan - Jakarta. Tapi tak mengapa, aku sadar karena ini tuntutan hidup, mencari nafkah. Tidak miskin kasih sayang kurasa, karena kudapat dari sekitar.
Sebagian waktuku lebih banyak kuhabiskan dengan bermain kala kecil. Hampir setiap pulang sekolah berbagai permainan atau dolanan Bocah ku geluti. Kelerang, main karet, bola kasti, petak umpet dan masih banyak lagi.
Apalagi kala malam, dulu tak ada listrik seperti sekarang. Ketika terang bulan, didepan rumah yang masih luas halamannya kami main " Seladur ". Semacam baris-berbaris membentuk ular memanjang lalu sambil bernyanyi keras kami melewati gerbang yang terbuat dari dua orang teman kami. Ketika salah satu dari kami tertangkap, kami harus menentukan kepada siapa kami berpihak.
Ketika lelah setelah lama bermain, biasanya kami duduk mengelilingi nenek yang duduk diteras. Dan berbagai cerita rakyat mengalir dari mulut kecil nenekku yang samar agak terlihat lebar dengan merah dari Sirih yang memerah. Setiap cerita begitu meresap, seakan kamilah pelaku utamanya. Dan yang paling kuingat setiap akhir cerita selalu di selingi nasihat bijak. Entah mengapa itu begitu mengena, hingga dewasapun kini kadang aku berkhayal sebagai tokoh dalam cerita itu.
Menginjak Remaja waktuku habis dengan Politik. SMP kelas tiga aku pengurus ranting dari Parpol yang berbasis pemuda dan rakyat kecil. SMA jabatan Pengurus Anak Cabang aku sandang, selain tentu ketua OSIS. Hari-hariku seperti ku abdikan untuk orang lain, setiap permintaan bantuan baik pribadi maupun Organisasi aku sanggupi. Fikiran, tenaga dan kadang dana aku siap semampuku. Hingga ada seloroh, denganku tak ada yang ditolak.
Sekarang, setelah 12 tahun aku berumah tangga. Putriku 3 orang kini, kebiasaan itu tetap saja jalan. Entah Kegiatan Ibadah, acara Nasional dan sebagainya.
Kadang aku merenung, apakah ini keberhasilan guru-guruku yang dengan semangat kala itu mengajarkan tentang mendahulukan kepentingan orang/umum diatas kepentingan pribadi ( Pelajaran P4 ). Atau apakah memang seperti itulah aku dilahirkan.
Akhir-akhir ini protes akan hal itu silih berganti datang dari anak dan istriku. " Yang lain bisa santai. Minggu jalan-jalan. Kenapa bapak tidak ?". Atau ", Yang lain kan bisa, kenapa mas terus sih". Dan yang sering berakibat pertengkaran kecil.
Terlebih untuk masalah keuangan, aku tak bisa melihat kesusahan orang. Setiap yang datang dan selama aku bisa, pasti aku kasih. Walau yang aku berikan sesungguhnya untuk keperluan keluarga. Tapi, fikirku mereka lebih memerlukan, dan keperluan keluarga tadi bisa aku tunda.
Hingga ada satu kenyataan yang membuat batinku bergolak, eneg, marah campur aduk, tapi tetap tak berdaya. Seseorang dengan muka memelas datang, masih saudara sih. Dengan satu alasan ia meminjam uang. Dan memang uang itu jujur ada, walau sesungguhnya satu minggu lagi akan dipergunakan untuk keperluanku sendiri. Orang tersebut janji akan mengganti pada waktunya.
Ternyata, oh ternyata. SHIT !!!!, uang tersebut untuk keperluan sepele. membeli HP untuk anaknya. Dan yang lebih njengkelin, ketika waktunya mengembalikan ia ingkar.
Saat itulah aku sadar, aku diperalat, dibohongi dan ada niat untuk menolak setiap ada yang minta tolong, tapi itu hanya sebentar. Ketika yang lain datang hati ini kembali terketuk. Untuk bilang ' GAK BISA ' saja susahnya setengah mati. Dan akhirnya aku beri. Dan kejadian itu berulang terus. Hingga istriku akhirnya bilang, " COBALAH BELAJAR BOHONG !!!".
Wahhh, baru denger nih Nasehat sekonyol ini. Setelah seumur hidup di wejang dengan nasehat untuk selalu jujur kini istriku sendiri menasehati dengan kalimat konyol seperti itu. Untuk semalam aku diamkan ia. Siangnyapun aku tetap diam.
Malam berikutnya istriku datang dengan secankir teh( aslinya segelas ding ), lalu ia bilang,
Suamiku, memang bohong itu salah. Tapi bohong untuk kebaikan adalah benar.
Sadarlah mas, Mas kini bukan Pahlawan desa lagi. Bukan Pejuang masyarakat lagi.
Kini waktunya mas jadi pahlawan keluarga ini.
Waktunya mas berjuang semata-mata untuk keluarga ini. Jangan terus menerus jadi lilin untuk orang lain.
Sudah waktunya mas jadi penerang di Rumah ini.
Ada saatnya bohong itu Emas,
Tapi jangan sekali-kali berbohong untuk yang satu itu ( ???? ).
Aku hanya bisa diam, tapi pelan kuakui bahwa itu benar.
Tinggal tunggu siapa orang pertama yang akan aku Bohongi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kan gak mungkin dari Dublin mau ngutang ke Jembatan lima. Yang ada aku minta subsidi
BalasHapuswah salut sob..
BalasHapususia muda uda kenal dunia politik.... :) :)
Dulu Bro, sekarang malah POLITIKIPOBIA ( istilah apa ini, bener gak ? )
BalasHapusWaaaaaaaaaaa.....
BalasHapuspilihan yang sulit ya...
seperti makan buah simala kama....
tapi begitulah jaman sekarang makin amburadul....
yang ujung²nya kita juga terbawa suasana..