Kecintaanku pada si-dia berawal pada tahun 2014, dan aku cinta mati padanya sejak saat itu. Bagaimana tidak. Saat rindu membuncah, ialah yang setia membantu mengantarku melepas rindu. Saat sebuah masalah datang tiba-tiba, dan aku dibutuhkan di dua tempat dengan selisih waktu yang sangat tipis. Ia penyelamatku tanpa menuntut banyak.
Yup. Inilah cerita nyataku tentang si-dia, si-kereta api. Tahun 2014, aku diharuskan terpisah dengan keluargaku. Istri dengan 3 buah hatiku. Sebuah amanat disematkan dipundakku, aku terpilih menjadi kepala desa. Sedang Istri dan anak-anakku menolak untuk ikut ke desa. Pertimbangan mata pencaharian pokok. Juga sekolah anak-anakku menyebabkan istriku dengan berat hati rela melakukan hubungan jarak jauh untuk sementara waktu.
Aku adalah putra pekalongan kota batik, tepatnya desa kedungjaran kecamatan Sragi kabupaten pekalongan jawa tengah. Di sana juga sekarang saat tulisan ini dibuat aku menjadi seorang kepala desa. Latar belakangku seorang pedagang nasi kecil-kecilan di gang sempit di daerah Jembatan Lima Tambora Jakarta Barat. Sudah berpuluh tahun aku mengadu nasib di sana, hingga anak-anakkupun tinggal dan sekolah di sana pula.
Maka bisa dibayangkan, jakarta - pekalongan sejauh 400 KM harus aku tempuh bila ada keperluan. Baik keperluan pribadi rutin, kangen keluarga tentunya maupun urusan lain yang harus aku selesaikan di jakarta. Aku harus melakukan perjalanan darat dengan roda empat. Paling cepat 7 - 10 jam bila berangkat pada saat tepat. Bila kurang beruntung, terjebak di toll cikampek bisa lebih dari itu.
Biasanya aku ke jakarta 2 minggu sekali secara rutin, itupun kalau di desa tak ada acara. Namun terkadang baru seminggu, rindu keluarga sudah di ubun-ubun. Jam berapapun pada akhir pekan aku ke jakarta. Itupun hanya 1 hari di jakarta. Sabtu berangkat dari pekalongan, dan senin pagi harus ada di kantor desa untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
Bisa dibayangkan, keinginan untuk melepas kangen dengan anak-anak akhirnya buyar. Sesampai di jakarta setelah mengendarai kendaraan 7 - 8 jam yang tersisa rasa penat dan ngantuk. Hingga sesampai di jakarta yang sering justru tersita untuk istirahat. Selepas istirahat hanya ada waktu 3 - 4 jam pada sore harinya bersama keluarga. Karena aku harus segera pulang kembali ke pekalongan, senin pagi harus sudah di kantor desa.
Kondisi ini berakhir, ketika pertengahan 2014 ada tugas kerja ke kementrian desa dari pemerintah kabupaten. Dinas memutuskan naik kereta api. Ini kali pertama aku naik kereta api, setelah memiliki kendaraan pribadi memang tak pernah naik kereta. Kalaupun tak bawa kendaraan sendiri, ada travel di desa yang bisa sampai depan pintu jadi langganan.
Pengalaman hari itu sungguh sangat luar biasa, jujur aku kaget alang kepalang. Sedari pintu masuk stasiun, gambaran suram stasiun yang dulu ada sirna tak berbekas. Calo liar dan pedagang asongan tak ada satupun. Rapi, bersih dan tertib. Wajah stasiunpun kini lebih greng cerah.
Semakin terkesima saat memasuki kereta yang kami tumpangi. Kereta yang kami naiki adalah kereta Tawang Jaya, kelas ekonomi. Bukan mau irit namun atas kesepakatan bersama agar tak ada yang tertinggal kereta untuk beberapa rekan yang tinggal agak jauh.
Kereta ekonomi yang sekarang jauh dari yang dulu ada, pengap, kumuh, sumpek. Yang sekarang wangi, dan luar biasa ber-AC. Walau memang tempat duduknya masih seperti kereta api yang dulu, namun kenyamannya sangat-sangat lebih dari cukup.
Semua duduk sesuai nomor, tak ada saling berebut kursi. Aku ingat dulu, ada tukang becak langganan yang berbadan kekar yang jadi langganan ayahku. Setiap kami naik kereta selalu menggunakan jasanya. Selain naik becaknya, abang becak ini pula yang jadi pencari kursi, merangsek dan menguasai kursi sesuai jumlah keluarga kami. Tak jarang perkelahian sering terjadi.
Satu waktu juga pernah karena kursi memang sudah penuh, aku harus ditipkan di kereta restorasi dengan membayar biaya tambahan. Sekarang semua serba nyaman, tak ada ancang-ancang seperti pelari yang akan memulai lomba saat kereta memasuki stasiun. Lorong kereta bersih, tak ada lagi orang duduk dilantai bahkan tiduran beralas koran karena tak mendapat tempat duduk. Juga, tak ada pedagang lalu lalang, walau ini akhir-akhir ini aku rindukan juga.
Luar biasanya lagi, pengalaman sebal ketika harus berhenti di tengah sawah, atau di sebuah stasiun karena ada kereta dengan tiket yang lebih mahal kini tak ada lagi.
Dulu, ada perasaan terhina saat aku duduk berhimpit-himpitan di pintu, karena pintu adalah tempat ternyaman dengan aliran udara segar setiap saat. Kereta harus berhenti di sebuah stasiun hingga 30-an menit, lalu pelan tanpa berhenti meluncur sebuah kereta bertiket lebih mahal. Tatapan mereka di jendela kereta seakan akan penuh ejekan kepada kami yang ada di kereta ekonomi.
Situasi itu tak ada sama sekali. Tak ada kereta yang harus berhenti di tengah persawahan karena ada kereta eksekutif yang harus didahulukan. Terasa dimanusiawikan sekarang ini, tak ada simiskin dan sikaya.
Dan yang menjadi keheranan berikutnya, hanya dalam waktu kurang lebih 5 jam kami sudah sampai di Pasar Senin. Beda jauh dengan dulu yang harus memakan waktu hingga 10 - 14 jam.
Sejak saat itu, kumpul keluarga terasa sangat-sangat lebih nyaman. Kini bila tak ada acara di desa, setiap seminggu sekali pada Jumat sore selepas jam kantor atau sabtu paginya aku kendarai kendaraan roda empatku ke stasiun, parkir nyaman, murah dan aman. Tiket sudah aku pesan di KAI Acces, atau kadang aku beli di BUMDes di desaku yang juga melayani penjualan tiket. Setelah cetak tiket secara mandiri tunggu sebentar lalu kereta datang.
Kwalitas kumpul keluarga meningkat maksimal, tak ada penat sedikitpun. Pulang ke pekalongan selepas kumpul keluargapun tak menjadi momok. Aku ambil jadwal terakhir kereta api di Stasiun Pasar Senen pada jam 23.00 WIBB kalau pulang. Aku berangkat saat anak terkecilku sudah terlelap. Tak ada lagi saat-saat si kecil merengek ikut pulang dan bertahan di mobil sebelum mesin kunyalakan seperti dulu lagi. Sesampai pekalongan waktu subuh dalam keadaan segar, tugas di hari seninpun lancar tanpa halangan.
Hingga ada cerita lucu, yang kadang malu aku ceritakan. Jadwal di desa sangat begitu padat, tapi rinduku pada kekasih tersayang sudah tak bisa dibendung. Sedari pagi gelisah. Padahal jam 14.00 WIBB esok harinya di desa ada acara yang tak bisa aku tinggalkan. Tanpa berfikir panjang jam empat sore aku ke stasiun, Argo Muria aku naiki dan jam sepuluh malam aku sudah di Gambir jakarta. Hi..hi..hi... anak anak sudah tidur.
Pagi harinya Tawang Jaya Premium dari pasar senen jadi andalanku. Koordinasi aku lakukan di perjalanan. Edit powerpoint untuk makalah yang akan aku sampaikan sorenya bisa kulakukan dengan mudah. Walau sayang wiffinya belum ada.
Hmmmmm karenamu Kereta api Indonesia, Jauh terasa Dekat.