Kamis, 30 April 2009

Buruh, Nasibmu kini



Mbbbooooooooooooooooooooooooooooooookkkkkkkkkkk !!!!
Emmmbbbbbaaaaaaaaaaaakkkkkkkkk...!!!!!!!!!
Biiiiiiiiiiiiiiiiiiibbbbbbbbbbbiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkkk !!!!!
Cuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuugggggggggggggggg !!!
OB.............................................

Itulah sebagian sebutan mereka, dari lebih banyak lagi panggilan yang kita tahu.
Apapun mereka disebut, dengan bahasa kasar hingga bahasa manis penuh kias tetaplah sama. Orang yang nasibnya belum sebaik seperti yang dicitakan.
( Aku takut, kalau aku sebut sebaik ' kita ' apakah aku masuk dalam kategori yang ' baik ' tersebut. Karena jujur aku juga kuli. )

Dan dimanapun mereka berada, entah di Rumah sederhana atau di Gedung tinggi semisal istana. Tempat mereka adalahah sama, tempat yang sebagian orang enggan menyambanginya. Entah itu dapur, tempat cuci, pantry dan sebagainya. Tugas mereka adalah seksi repot yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan tempat ia bekerja. Pekerja yang hanya tahu diperintah tanpa bisa, bahkan berhak untuk bertanya.

Marilah mengintip keluar jendela, ada rekan-rekan mereka. Bertempat beda namun nasib sama. Baik yang sedang memasang pipa untuk air minum, atau bergelayutan diatas tiang untuk terangnya malam. Atau bahkan yang hilir mudik dengan sepeda dengan tabung dibelakang, baik itu air maupun gas.

Agak jauh kita memandang, nampak dari balik pintu yang sedikit terbuka. Sosok-sosok yang trengginas dengan mesin jahitnya. Dengan tanpa lelah ia buatkan kita baju, celana, Sepatu hingga Televisi bahkan Pesawat. Dan terselip dipojok memainkan mesinnya sambil berdendang, .....ambilkan bulan bu.........
.....ambilkan bintang bu.......

Heiii, Coba tengok lebih jauh sedikit. Pasti kan kau lewati tangan-tangan mungil menyibak hari, dengan sayur di atas kepala, dengan kaki kecilnya yang berdiri anggun diatas roda. Atau bila kita sedikit mau mendengar lebih cermat, kan kau dengar dentang palu nan merdu memecah kerang.

Dan ayo , Mari kita berenang. Tuk sekedar menengok para buruh Jermal. Yang dengan tanganhitam kekarnya ia meraup udang. Nampak terselip di sana, sosok kecil dengan ingusnya.
Heiiiiii, jangan berhenti. Ayo ikuti awan kenegeri seberang. Ada nyanyi lirih dari sana yang lamat, lirih lalu menghilang. Senyap, berganti anyir darah membahana.

Itulah Mereka. KAUM BURUH.
Dari dulu hingga kini nasibmu entah.
Apakah Buruk, baik atau bahkan membusuk.
Deritamu kini dan dahulu tiada beda.
Hanya mengisi waktu menunggu jeda,
hingga jiwa tercabut dari ujung raga.

Senin, 27 April 2009

FLU BABI


Sudah satu minggu ini, Semua konsumen tempat aku usaha komplain dengan suaraku di Telepon yang agak sedikit berubah. Dari yang semula sember menjadi agak-agak serak basah plus 'bindeng', sama aja gak enak mas. Hingga kadang mereka harus teriak berulang-ulang...Apaaa???!!!.

Ya. Itulah anugrah terindah dari Allah, diberi sakit agar kita tau nikmatnya Sehat. Diberi lemah biar tahu memanfaatkan bila kita diberi kekuatan. Diberi yang jelek biar tau yang Cantik itu indah ( Ehh... Nggak ding. Cantik dan tidak kan Relatif. Yang penting kan hatinya ).

Flu dan Bindeng juga anugrah koq. Kita akhirnya tahu bahwa ada suara indah Mariah Carey, Suara merdu Bang Haji Rhoma Irama atau suara ngerock Yang punya Changcut. Coba bayangkan bila suara semua orang bindeng. Maka bindeng adalah wajar dan lumprah. Dan tak heran Penyanyi yang bindeng dan Sengaunya Parah malah jadi TOP HITS. ( Kacau....).

Dan yang lebih nikmat. NGUPIL. Sudah pernah ngupil ???. Pasti semua orang pernah. Inipun anugerah terindah yang Allah berikan kepada kita. Betapa nikmatnya ngupil. Emang nikmat ?. Kalau gak percaya perhatikan betapa damainya orang yang sedang ngupil. Kadang sampai merem melek, ada juga yang sambil nyengir. Apalagi ketika 'sang upil' sudah dengan sukses berada di ujung jari. Wahhhh.... Merdeka !!!.

Okelah, Flu, Pilek, Bindeng dan Sengau adalah anugrah. Benarkah ?. Mungkin kalau Flu itu masih kategori ringan, Pilek ringan, Bindeng dan Sengau juga yang nggak terlalu amat. Itu anugrah. Hingga ketika sakitpun masih ada kenikmatan yang dapat kita peroleh.

Tapi kalau FLU BURUNG, FLU SINGAPURA dan terakhir FLU BABI ?.
Anugerahkah itu ? Atau Bencana.
Jawabnya ada di anda semua.

Sabtu, 25 April 2009

Uang Kaget


Hari ini rasanya badan Remuk redam. Maklum manusia sempurna, bisa sehat bisa sakit. Sore tadi udah dikerok sih, pakai motif batik. Terus minum obat, tidur deh. Ngimpi jalan-jalan ke paris, terus loncat ke Dublin Ketemu Jengsri. Di Dublin ditraktir makan Soto Gromyang ( ??? ) ama goreng Oncom. He..he...he...he..

Bangun subuh mandi air panas kembali tenggelam dalam rutinitas. Hingga jam 12.00 wibb kantuk luar biasa menyerang. Pengaruh obat kali ya. Akhirnya terkapar aku di Springbed bajakan merk ' indonesialand' alias ubin.

Hampir satu jam setengah mungkin, ketika suara keras membuatku terbangun. "Buruan...!!!, nih dapat hadiah dari Telkomsel", seru istriku. Busyet angin apa nih Perusahaan yang pelit itu ngasih hadiah. Paling penipuan, sahutku. Cuma entah kenapa aku ingin tau gimana modusnya. Pakai cara baru atau cara muktahir yang udah di Update.

"Halo, Selamat siang. Dengan bapak Herlambang dari Telkomsel disini".
" Ya", sahutku, " Ada apa ya. Bener nih dapat hadiah ?". Pura-puraku bertanya.
" Iya nih Pak. Bapak beruntung mendapat hadiah Poin Telkomsel berupa Uang
7 juta rupiah. Dan mohon maaf deadline pengambilan jam 3 sore ini."

Dalam hati agak grogi juga, nanti bener nih.
" Lah ini kan udah jam setengah tiga pak", tanyaku.
" Oh, gampang kami bisa bantu agar uang bapak tidak angus", kata suara di sebrang
sana wibawa.
" Caranya Pak ?".
" Bapak punya Rekening? ".
" Ada sahutku", dari sini aku udah mulai mencium ketidak beresan.
" 17914789xx, ini no rekening saya", kataku selanjutnya.
" Oh tidak bapak. Bapak harus ke Atm terdekat, nanti di atm bapak beritahu saya.
Jangan diputus telponnya pak. " katanya dengan suara agak keras.

Dalam hati aku udah bisa memastikan bahwa orang ini penipu. Cuma sengaja aku kerjain. Aku duduk saja di tempatku biasa memelototi monitorku. Setelah cukup kurasa, langsung ku hubungi orang tersebut karena memang telpon diapun tak ditutup.
" Halo", kataku.
" Sudah sampai pak ?', tanyanya dengan sura agak ditekan.
" Sudah pak."

Selanjutnya dibimbinglah aku seperti layaknya transaksi di depan mesin Atm. Dan untungnya aku punya Buku panduan Klik BCA yang berisi urut-urutan transaksi. Transaksi pertama sukses, masuk pin, lalu disuruhnya memilih opsi e-bangking. Pintar juga, pikirku dalam hati. Lalu ditanyanya aku ada opsi apa lagi. Dan dengan pura-pura bego akusebutin opsi-opsi tersebut. Lalu ia perintahkan pilih 'isi ulang pulsa via sms'. Disini aku gelagapan karena dibuku panduan klik Bca Opsinya ke daftar Internet Banking.

Dan memang aku sendiri sudah tak tahan hingga akhirnya aku keras teriak.
" ANDA TERTIPU!!!!!!, Saya sedang duduk bukan di depan ATM. Basi!!!!!".
Tuuuuttt....tuuuttttt...tutttt. Telepon terputus.

Jumat, 24 April 2009

Kamis, 23 April 2009

Kangen 2



Hari Menjelang maghrib, biasanya waktu itu mbahku mulai mengeluarkan beberapa Lampu Templok. Terbuat dari bejana kaca yang diatasnya ada Corong kaca tipis yang melindungi sumbu api dari tiupan angin. Minyak tanah ia tuangkan, lalu sumbu ia sulut dengan api dari Korek api Pocel.

Kadang aku suka membantu, dan sering kami justru di marahi karena terlalu besar menyalakan sumbu hingga pas bangun tidur kami sekeluarga persis Jojon. Pelawak yang kumisnya persis di Lubang hidung. Ya. Karena bila terlalu besar jelanga dari lampu itu banyak berterbangan dan sebagian terhirup oleh kami, hingga lubang hidung kami hitam.

Maghrib kami saling beriringan dengan obor ditangan menuju surau untuk sholat maghrib dilanjutkan mengaji. Hujan tiba-tiba turun agak deras, kamipun berlarian agar cepat sampai. Dan di sana telah berkumpul dua puluhan teman sebaya. Tak sempat bercanda seperti biasanya, karena Iqomah telah diserukan.

Hujan mengiringi sholat kami, bahkan hingga Isya. Baru setelah usai mengaji ia mereda. Dan saat seperti inilah saat bagi kami untuk berburu dimulai. Berburu apa ? Laron....., wuiiiihhhhhh. Ya Laron. Serangga yang hidup dalam tanah, dan muncul bila usai hujan. Jumlahnya ribuan, hingga kadang kami susah berjalan karena pandangan kami dipenuhi oleh mereka.

Tubuhnya putih kekuningan, dengan kepala kecil hitam, sayap beningnya tak pernah henti terkepak. beterbangan sana kemari dalam remang mencari cahaya. Tahu nggak Laron ini rasanya... hmmmmmmmmmm, maknyusssss. Maka tanpa menunggu waktu lebih lama kami bergegas pulang.

Baskom besar berisi air telah siap, kami letakkan di depan rumah dekat dengantempat lubang dimana laron-laron itu bermunculan tiada henti. Di tengah baskom kami letakkan Lampu templok. Maka laron-laron itupun berebut kearah lampu itu. Mereka tanpa sadar menabrakkan diri ke Corong lampu itu, dan akhirnya jatuh ke air.

Beramai-ramai kami membersihkan sayap laron dengan menyianginya ( mencabutinya ). Lalu dengan bumbu yang sudah mbah siapkan, Srennnngggg.......... jadilah Laron Goreng yang gurih sedap. Dengan nasi sisa tadi sore, Wadang. Kamipun santap malam. Bukan di ruang makan. Tapi duduk jongkok didepan Pawon, menghangatkan badan.

Aduhhhh. Tersadar aku, Komputerku yang agak nyetruum tersenggol ujung Dengkulku. Lamunanku akan masa lalu buyar. Berganti dengan aroma Sayur lodeh yang sedang dimasak mbak Tus di dapur warung istriku.

Ahhh,... entah mengapa ada yang hilang rasanya. Aku kangen aroma wangi tanah yang terpercik gerimis. Aku kangen gemericik air, yang berkecipak oleh gerakan ikan gabus. Rimbun hijau rumpun ganyong, yang sesekali berbunga merah, kuning putih. Semuanya Punah. Hilang.
Kalupun ada tumbuhan yang ada kini tanaman gelombang cinta. Tanah yang dulu coklat bersih berganti batako tertata rapi. Dan Blumbang dimana kami mancing kini hitam warnanya.

Dimana kini laron-laron yang bagai pasukan perang menderu. Dimana kini ikan sepat yang putih bertotol hitam dengan rumbai sungutnya.
Ahhhhh, satu demi satu mereka pergi.
Ataukah Bumi kian tua. Hingga tak kuasa memberi mereka naungan.
Ataukah Aku yang terlalu serakah, hingga semutpun ku gapai tuk jadi camilan.
................................................................tak ada jawaban.

Rabu, 22 April 2009

Kangen 1

Untuk Hari Bumi yang agak terlambat.

Pagi ini, seperti pagi pagi yang lalu. Masih tetap seperti biasanya. Dengan segala Rutinitas yang seakan terprogram rapih hingga kadang bila satu detil terlewat otak jadi kacau, Hang dan error. Dan berujung dengan sejumput puyer meredakan rasa "agak" sakit di kepala.

Setelah mandi, menyalakan sahabat setiaku pentium 4 yang udah agak ngos-ngosan mengejar target. Istri tercintaku masuk ruangan dengan tentengan plastik hitam kecil. Memang setiap ke pasar pagi hari ia selalu membawa oleh-oleh untukku. Teman Teh Tubruk, pasti. Kalau tidak Onde-onde, mungkin jajan pasar seperti Getuk dan sebangsanya.

Sepeninggal istriku kuseruput wangi melati yang teramu padu dalam hangat panas teh tubrukku. Hmmmmmm, nikmat. Terasa sebuah kehangatan ragawi menjelajah menjalari seluruh pori-pori tubuhku. Dimulai dari kerongkongan, turun kelambung dan terus mennyusuri seluruh rongga tubuhku.

Ternyata tebakan hatiku meleset.Bukan onde-onde, bukan pula getuk. Tapi ' Ganyong ', Kacang, dan Talas rebus. Kacang pasti kita semua kenal dan sering menikmati gurih renyahnya bila di goreng pasir. Atau empuk masirnya bila direbus. Kalau Talas?. Di Bogor banyak. Tapi 'Ganyong '???

Ya Ganyong. Sejenis umbi-umbian yang bentuknya mirip Laos. Bahkan sama persis. Rasanya pulen manis, seperti talas tapi lebih pulen dan berserat.

Entah mengapa, sambil menikmati hidangan eksotis tropis yang dibawa istriku. Tanpa sadar fikiranku terbawa kemasa lalu. Jauh hingga berpuluh tahun kebelakang.

Nampak sebuah rumah dengan dinding anyaman bambu, kami menyebutnya pager. Dengan atap daun sagu atau bulung. Biasa kami bila sore bersama beberapa bocah kecil mancing ikan sepat, menter atau kadang Lele kampung. Dipinggir 'blumbang' atau saluran air yang airnya bening hingga ikan di dalamnya dapat kita lihat yang sesekali berlarian dibawah ranting kayu yang jatuh terendam.

Duduk beralas daun jati disela rumpun pohon ganyong dan perut, apalagi ini. He..he..he...aneh memang. Mungkin yang tepat wortel jawa. Bentuknya hampir mirip tapi ia putih dengan kulit bening. Kami sering memakannya dengan terlebih dulu dibakar, atau direbus.
Senda gurau sambil sesekali menarik mata kail dengan sentakan keras dan ditimpali seruan kegirangan melihat seekor Ikan Bayong atau Gabus menggelepar ditanah coklat.

Oh betapa indahnya, senja menjelang petang bersantap perut dan ganyong berlauk ikan menter dan gabus. Dan yang paling seru ketika sadar muka kita hitang coreng moreng karena tak sadar mengusap keringat dengan tangan yang hitam bekas abu bakaran yang menempel di bakar Ganyong.

Setelah puas saling memperolok dan seing berlanjut dengan saling mencoreng muka kami dengan bekas abu, kami berlarian dan berakhir di kali besar di ujung desa. Setelah abu kini berganti lumpur kali beterbangan disekitar kami. Dan..., JBURRRRRRRRRRR...... bbbrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr,....Segar.

Jauh di ufuk barat. senja kemerahan menyongsong malam.

Selasa, 21 April 2009

Hari Marsinah


Setelah hiruk pikuk tentang Kartini usai. Dengan segala seremonial yang sesungguhnya hanya bersifat hanya sekedar memperingati. Hanya sedikit rasanya yang benar-benar mengerti, memahami dan menjalankan apa yang disebut kesetaraan Gender, kesamaan harkat. Antara Pria dan Wanita.

Dari lingkup kecil, sebuah keluarga. Masih begitu banyak wanita yang hanya diposisikan Jalmo Wingking. Orang belakang. Yang bertugas Dapur, Sumur, Kasur. Miris.
Semegah apapun seremoni itu diadakan, makna dasar perjuangan Kartini sesungguhnya masih jauh arang dari api. Berasapun tidak.

Apalagi kalau kita melangkah ke lingkup yang lebih luas. Betapa diskriminasi itu kian terasa, dengan segala pembenarannya. Peraturan, Adat dan agama. Belum arogansi kaum pria.

Betul wanita adalah mahluk ayu nan lemah gemulai. Dimana ia harus kita hormati, sayangi dan lindungi. Dengan cara seperti apa?. Dielus dipajang sebagai pajangan ruang tamu. Atau sarana pamer dengan sejuta kemilau intan berlian yang menaburi badannya. Atau bahkan Untuk sebuah kesetaraan ia kita kirim ke medan juang Devisa ke luar sana.

Yang pas sebenarnya memberi kesempatan seluas-luasnya sesuai kemampuan dan tempatnya.
Sesuai keahlian, minat dan keinginannya. Dengan segala perlindungan agar tak tercerabut haknya, karena sesungguhnya ada sisi lemah padanya. Dan apakah itu sudah terpenuhi ?.

Jangankan bicara tentang hak-hak perempuan, yang sungguh dan Nyata adalah perhatian ke sekian ribu dari kebijakan-kebijakan Pemerintah. Untuk kebijakan utama saja masih carut-marut. Maka mimpi jika kita terlalu berharap terhadap mereka. ( baca: penguasa )

Kembali dengan segala celoteh tentang Kebangkitan dunia wanita. Ada sesuatu yang terlupa dengan segala gegap gempita akan keberhasilan beberapa tokoh wanita. Sebut saja Sri mulyani, Sulasikin Murpratomo atau Siti Fadilah dan Mari Pangestu.

Satu wanita dengan segala kekurangannya, yang muncul dari akar rumput, dari kalangan bawah.
Dengan pendidikan pas-pasan namun ia berani bertindak melampaui kemampuannya. Dengan status buruhnya ia berani lantang menyuarakan kebenaran. Dialah MARSINAH.
Yang untuk hak-hak sesamanya ia serahkan nyawa-Nya.

Perenungan mendalam. Perlu kedepan ada perhatian dari kita, bukan hanya seremonial belaka. Tapi suatu kebijakan menyeluruh tentang Hak Wanita indonesia. Jangan sampai menunggu seribu marsinah berkalang tanah. Atau menunggu Ceriyati-ceriyati lain yang gagah berani melompat dari atas gedung di Luar sana.

Paling tidak dari diri kita.
Pandanglah ia, hormati ia, perlakukan ia sejajar dengan Pria.

in memoriem, Marsinah lahir tanggal 10 April 1969

Senin, 20 April 2009

Kartini yang menjadi Kartono


Pagi ini 21 April, satu hari yang sakral bagi kaum wanita indonesia. Katanya.
Hari dimana pada saat itu seorang wanita mulai berani mencurahkan kata hatinya. Akan keinginan untuk melihat dunia.

Tapi ada suatu pertanyaan mendasar. Mengapa kartini ???.
Yang dengan gelar raden ajengnya sudah jelas menggambarkan sosok Priyayi bangsawan. Yang pasti dengan kekayaan dan kekuasaan orangtuanya ia dapat memperoleh sesuatu yang diinginkanya. Termasuk pendidikan.

Mengapa tidak dia, Ken Dedes misalnya. Tokoh wanita yang dengan segala daya upaya menunjukkan pada dunia bahwa wanita mampu. Atau Ratu Tungga dewi, seorang wanita yang mampu memimpin Kerajaan adidaya Indonesia saat itu, Majapahit. Walaupun memang keduanya dari kalangan istana, namun perjuangannya lebih keras dari seorang kartini.

Ataukah, pemberi gelar Pahlawan Pejuang Emansipasi wanita saat itu tak berusaha merunut sejarah. Atau bila yang ditampilkan sosok pemberontak tradisi ditakutkan akan mengilhami kaum wanita untuk merebut dominasi kekuasaan pria. Entahlah.

Kartini atau siapapun hanya symbol. Yang menjadi masalah sekarang, sudahkah hak wanita itu telah diterima sepenuhnya. Sudahkah Perhatian dan perlakuan kita secara individu, masyarakat dan Kenegaraan telah layak untuk mereka ?.

Yang jelas kini memang ada satu kemajuan dalam kebijakan terhadap ke-wanitaan di indonesia ( jangan dibaca lain lho ). Dengan quota parlemen yang ditingkatkan, walau tetap dijegal dengan segala cara agar tak mulus melenggang. Atau PNS yang tak boleh beristri dua, walau selir dan simpanan boleh dimana-mana.

Ohhh..., Miris melihat berita, tentang kartini yang yang luwes melacur dipinggiran jalan. Trenyuh melihat nyata, seorang kartini dengan bocah kecilnya menyulurkan tangan untuk sekeping receh. Marah rasanya melihat seorang kartini memanggul batu di pundak dengan tubuh ringkihnya.

Menangis batin melihat seorang kartini yang luwes seronok melenggang dipanggung menjual dirinya.

Apakah ini Emansipasi.
Apakah ini kesetaraan.
Apakah ini Kesamaan kesempatan.

Ingat,
Ia mungkin Ibumu,
mungkin anakmu,
atau mungkin Istrimu.

Jangan biarkan kartini menjelma menjadi kartono.

Doa kami untukmu, marsinah.

Jumat, 17 April 2009

Tak Sendiri


Week End. Wah senengnya. Libur tentu, atau paling kerja setengah hari. Ahhhhhhhhhhhhhh......tapi itu bukan buatku. Dimana yang lain bisa santai, bangun agak siang, aku subuh sudah harus buka pintu gerbang ( pintu Warung istriku ding ). Jalanin Kewajiban Rohani dan Jasmani ( Jangan Ngeres, Rohani sholat. Jasmani ke belakang ).

Nyalain Komputer, NgetehTubruk ( kopi agak keras soale ). Nyapu, ngepel, ngelap sana-sini. Akhirnya mandi, wehhhhh Suegerrrrr. Nggak juga. Rutinitas yang aku hadapi kadang menjemukan, ya seperti tadi itu. Tiap hari tanpa jeda. Kadang suka berkhayal, Sabtu atau minggu pagi terbangun di atas Atap setelah begadang dibawah langit jakarta. Terbangunpun oleh hangatnya mentari pagi,... dan harumnya teh melati. Wah nikmatnya.

Apalagi week end, yang bagi sebagian orang adalah waktu santai bagiku tidak. Justru Sabtu minggu adalah puncak kesibukanku. Maklum usahaku Jasa Kiriman, yang konsumennya adalah buruh mingguan. Begitu sabtu gajian langsung kirim uang ke kampung. Praktis Week Endku adalah layar Monitor, Catat Pengirim, kirim data, transfer sana-transfer sini, terima telpon.... Wahhhhhhhhhhhhhhh.......Pusing. Belum kalau ada yang komplain.

Tapi ada yang beda pagi ini. Monitorku nampak begitu indahnya. ada warna hijau dari jengsri yang menyapa lembut. Aroma harum angin pantai dari anak nelayan, dan irama menghentak dari joo izzy, serta aliran reiki dari some one disana, tatap tajam bang Tengku, imut wajah mbak novi dan entah berapa juta kerlip gemintang berbalut pelangi dari sahabat blogger yang tak bisa aku sebut satu-satu.

Wahhh, ternyata aku tak sendiri. Hi..hi...hi..., agak terasa ringan. Apalagi ketika goreng tempe mendoan menyeruak kerongkongan lalu disiram hangat teh melati. Oh alangkah nikmat pagi ini.

Kamis, 16 April 2009

Belajar Bohong.


Sering terjadi pertarungan sengit di batin ini. Terlebih saat-saat seperti sekarang ini. Untuk berkata Jujur tapi hancur, atau berbohong selamat tapi hati tersiksa.

Aku adalah seorang yang lahir, besar dan hidup di Lingkungan sederhana. Dengan Sejuta kasih sayang yang tiada henti tercurah dari Orangtua. Walau memang terpisah jauh, Pekalongan - Jakarta. Tapi tak mengapa, aku sadar karena ini tuntutan hidup, mencari nafkah. Tidak miskin kasih sayang kurasa, karena kudapat dari sekitar.

Sebagian waktuku lebih banyak kuhabiskan dengan bermain kala kecil. Hampir setiap pulang sekolah berbagai permainan atau dolanan Bocah ku geluti. Kelerang, main karet, bola kasti, petak umpet dan masih banyak lagi.

Apalagi kala malam, dulu tak ada listrik seperti sekarang. Ketika terang bulan, didepan rumah yang masih luas halamannya kami main " Seladur ". Semacam baris-berbaris membentuk ular memanjang lalu sambil bernyanyi keras kami melewati gerbang yang terbuat dari dua orang teman kami. Ketika salah satu dari kami tertangkap, kami harus menentukan kepada siapa kami berpihak.

Ketika lelah setelah lama bermain, biasanya kami duduk mengelilingi nenek yang duduk diteras. Dan berbagai cerita rakyat mengalir dari mulut kecil nenekku yang samar agak terlihat lebar dengan merah dari Sirih yang memerah. Setiap cerita begitu meresap, seakan kamilah pelaku utamanya. Dan yang paling kuingat setiap akhir cerita selalu di selingi nasihat bijak. Entah mengapa itu begitu mengena, hingga dewasapun kini kadang aku berkhayal sebagai tokoh dalam cerita itu.

Menginjak Remaja waktuku habis dengan Politik. SMP kelas tiga aku pengurus ranting dari Parpol yang berbasis pemuda dan rakyat kecil. SMA jabatan Pengurus Anak Cabang aku sandang, selain tentu ketua OSIS. Hari-hariku seperti ku abdikan untuk orang lain, setiap permintaan bantuan baik pribadi maupun Organisasi aku sanggupi. Fikiran, tenaga dan kadang dana aku siap semampuku. Hingga ada seloroh, denganku tak ada yang ditolak.

Sekarang, setelah 12 tahun aku berumah tangga. Putriku 3 orang kini, kebiasaan itu tetap saja jalan. Entah Kegiatan Ibadah, acara Nasional dan sebagainya.

Kadang aku merenung, apakah ini keberhasilan guru-guruku yang dengan semangat kala itu mengajarkan tentang mendahulukan kepentingan orang/umum diatas kepentingan pribadi ( Pelajaran P4 ). Atau apakah memang seperti itulah aku dilahirkan.

Akhir-akhir ini protes akan hal itu silih berganti datang dari anak dan istriku. " Yang lain bisa santai. Minggu jalan-jalan. Kenapa bapak tidak ?". Atau ", Yang lain kan bisa, kenapa mas terus sih". Dan yang sering berakibat pertengkaran kecil.

Terlebih untuk masalah keuangan, aku tak bisa melihat kesusahan orang. Setiap yang datang dan selama aku bisa, pasti aku kasih. Walau yang aku berikan sesungguhnya untuk keperluan keluarga. Tapi, fikirku mereka lebih memerlukan, dan keperluan keluarga tadi bisa aku tunda.

Hingga ada satu kenyataan yang membuat batinku bergolak, eneg, marah campur aduk, tapi tetap tak berdaya. Seseorang dengan muka memelas datang, masih saudara sih. Dengan satu alasan ia meminjam uang. Dan memang uang itu jujur ada, walau sesungguhnya satu minggu lagi akan dipergunakan untuk keperluanku sendiri. Orang tersebut janji akan mengganti pada waktunya.

Ternyata, oh ternyata. SHIT !!!!, uang tersebut untuk keperluan sepele. membeli HP untuk anaknya. Dan yang lebih njengkelin, ketika waktunya mengembalikan ia ingkar.

Saat itulah aku sadar, aku diperalat, dibohongi dan ada niat untuk menolak setiap ada yang minta tolong, tapi itu hanya sebentar. Ketika yang lain datang hati ini kembali terketuk. Untuk bilang ' GAK BISA ' saja susahnya setengah mati. Dan akhirnya aku beri. Dan kejadian itu berulang terus. Hingga istriku akhirnya bilang, " COBALAH BELAJAR BOHONG !!!".

Wahhh, baru denger nih Nasehat sekonyol ini. Setelah seumur hidup di wejang dengan nasehat untuk selalu jujur kini istriku sendiri menasehati dengan kalimat konyol seperti itu. Untuk semalam aku diamkan ia. Siangnyapun aku tetap diam.

Malam berikutnya istriku datang dengan secankir teh( aslinya segelas ding ), lalu ia bilang,
Suamiku, memang bohong itu salah. Tapi bohong untuk kebaikan adalah benar.
Sadarlah mas, Mas kini bukan Pahlawan desa lagi. Bukan Pejuang masyarakat lagi.
Kini waktunya mas jadi pahlawan keluarga ini.
Waktunya mas berjuang semata-mata untuk keluarga ini. Jangan terus menerus jadi lilin untuk orang lain.
Sudah waktunya mas jadi penerang di Rumah ini.
Ada saatnya bohong itu Emas,
Tapi jangan sekali-kali berbohong untuk yang satu itu ( ???? ).

Aku hanya bisa diam, tapi pelan kuakui bahwa itu benar.
Tinggal tunggu siapa orang pertama yang akan aku Bohongi.

Jumat, 10 April 2009

Klobot isi Crutu


Klobot, bagi sebagian kita yang lahir di era 80-an, kata ini tentu asing. Ya, klobot. Sejenis rokok yang pembungkusnya terbuat dari pelepah buah jagung yang dikeringkan. Kadang diberi perasa manis dengan direbus dalam gula merah encer, kala kecil kadang aku suka menjilatinya. Adapun isinya adalah tembakau kelas rendah yang bila mau menggunakannya harus di tumbuk pelan lalu di suir-suir. Jenis rokok ini dulu kondang dikalangan bawah, karena harganya yang ekonomis, walau kadang ada yang selangit. Klobot Roro mendut misalnya.

Crutu. Srutu. Cerutu. Sejenis rokok yang tentu sudah tak asing di telinga kita. Bahkan akhir-akhir ini ada trend di kalangan atas, untuk menghisap crutu di kala senggang. Sebuah image tersendiri, kelas tersendiri, karena memang jenis Rokok ini mahal harganya. Apalagi yang impor dan berumur tua. Dulu Crutu adalah ' Klangenan' para Menir atau tuan Londo.

Dari dua jenis rokok tersebut ada sebuah filosofi mendalam yang terkandung. Bukan tentang seni hisap menghisap. Atau tentang aroma dan rasa. Tetapi tentang kehidupan.
Masa kecil dulu, sering nenekku selalu mengelus kepala. Dengan penuh kasih sayang ia berguman," E...alah Le. Jadilah manusia yang Luhur, Waras Rohani jasmani. Berguna bagi manusia dan negara serta agama. Jujur Lisan batin. Jangan Bungkus Crutu isi Klobot, tapi berusahalah Jadi Bungkus Klobot isi Crutu".

Untuk kalimat awal anak seusiaku saat itu langsung paham apa maknanya. Tapi kalimat akhir hingga dewasa kemarin belum terkuak artinya.
Hingga akhirnya sebuah peristiwa kecil yang sebenarnya tak ada arti kembali mengingatkanku akan kalimat nenek kala itu.

Dian anakku yang paling kecil, satu waktu memakai sepatu mbaknya, Ria. Badan mereka memang sama hingga sepatu meraka sering saling tukar pakai. Tak taunya sepatu itu adalah milik teman si-Ria yang ia tukar pakai juga.

Masalah timbul ketika Tim Futsal di mana Dian Sekolah ada satu pemain yang belum punya sepatu futsal. Kebetulan dian memakai sepatu teman ria yang ternyata sepatu Futsal. Dianpun diminta bantuan agar meminjami sepatu itu. Saat itu dian tak ngomong kalau itu bukan sepatunya. Ketika pulang sekolah, Teman ria telah menunggu karena bermaksud akan menukar sepatunya. Kepanikan nampak di wajah Dian. Ke tempat teman kelasnya untuk meminta sepatunya jelas tak mungkin. Lalu apa jawaban yang harus disampaikan ke Mbaknya, dan tentu teman mbak-nya.

Walau masalah itu selesai dengan campur tangan istriku, ada suatu pelajaran yang bisa dipetik.
Jujur mujur. Jangan akui sesuatu adalah milikmu padahal bukan. Jangan katakan sanggup, padahal tidak. Jangan katakan ia, tetapi dibelakang ingkar.

Dewasa ini, falsafah mulia itu kadang luntur begitu saja. Apalagi bila kita bertemu teman lama. Misal dalam satu acara reuni. Gengsi dengan motor, sewa mobilpun jadi. Dengan gagah cerita ini itu sebagai orang berhasil. Ketika ditanya, dengan berlagak merendah bilang , mobil bekas-lah, yang kredit-lah. Pikir mereka paling ketemu sekarang, besok sudah dengan kesibukan masing-masing dan nggak mungkin ketemu.

Dan bila terpaksa ketemupun. Gampang, "Mobilnya mana?. Jawabnya: di bengkel. Selesai.
Padahal tidak. Sekali kau berbohong maka engkau terpaksa harus berbohong kembali untuk menutupi kebohonganmu yang pertama dan demikian seterusnya.

Maka benar, jadilah diri sendiri. Bungkuslah diri dengan isi. Jangan kau sematkan merk tertentu padahal isinya lain. Maka kau akan Mujur.

Kamis, 02 April 2009

Sebuah Kesadaran.

Untuk Tus, Tia dan Mbak Nah.

Hari ini, Jam makan Siang di Warung Istriku begitu Ramai. Memang seperti biasa. Apalagi ini hari Jumat, para pekerja itu berebut makan lebih dulu sebelum mereka bergegas melaksanakan kewajiban Solat Jum'at.

Yang berbeda mungkin tempatku saat itu. Aku yang biasanya duduk di depan monitor, harus bergelut didepan Tempat Cucian Piring. Beberapa Pelanggan sempat menggodaku. Wah.... Bos Turun tangan sendiri. Aku hanya bisa nyengir.

Ya. Memang lain rasanya setelah hampir 5 tahunan aku tak pernah membantu istriku di Warung kini terpaksa aku ikut terjun, walau memang usaha kami satu atap. Capek, kesal dan yang tentu Pekerjaan utamaku agak terbengkelai. Memang bisa dikejar setelah Jam makan Siang Usai, namun ya Ampun seperti dikejar sesuatu dibelakang kita.

Dengan peluh yang sedikit kuusap sekenanya aku mulai mengerjakan Kewajibanku. Mengirim data Konsumen ke Kurir yang ada di daerah. Rasa Nyaman dinginnya udara ruangan ber-AC beda kontras dengan panasnya dapur Warung istriku.

Aku baru sadar bahwa dunia ini penuh keseimbangan. Ada dingin, ada Panas. Capek, Lelah. Nyaman, Indah. Teringat Pembantu Warung istriku yang kemarin pulang 3 orang sekaligus karena ada sanak saudaranya yang menikah. Betapa capeknya mereka yang tiap hari harus mengerjakan pekerjaan itu.

Memang dulu akupun merintis dari bawah dan harus mengerjakannya sendiri. Tapi itukan demi keberhasilanku. Lalu mereka untuk apa?. Apa hanya untuk upah yang tak seberapa itu.
Kini aku sadar apa itu pengabdian. Sadar apa itu keseimbangan. Sadar apa itu pengorbanan.

Selama ini memang aku tahu semua itu. Tapi jujur hanya bersifat retorika lisan belaka. Tak seperti hari ini ketika kesadaran itu muncul dari hati terdalam.

Terima kasih TIA, MBAK NAH dan TUS dan semua yang membantuku selama ini. Engkau adalah pahlawan keluargaku.
Tanpamu keseimbangan itu ambruk berkeping.